Keuntungan Letak Geostrategis Indonesia

Bidang

Keuntungan Letak Geostrategis Indonesia di antara dua benua

1. Ekonomi

1. Indonesia menjadi jalur perdagangan dari seluruh dunia sehingga barang-barang dari Indonesia banyak di ekspor ke luar negeri

2. Banyak pendapatan dari pajak dan cukai dari perdagang yang berasal dari luar negeri

3. Banyak komoditi Indonesia yang sangat dibutuhkan oleh orang asing, misalnya : rempah-rempah

4. Indonesia mempunyai pasar yang luas karena mempunyai wilayah yang luas dan penduduk yang banyak

2. Transportasi

1. Indonesia mempunyai teknologi pembuatan yang sudah canggih sejak dulu

2. Laut memudahkan hubungan antara pulau satu dengan pulau yang lainnya

3. Banyak kapal asing yang melintas wilayah Indonesia yang harus mengajukan ijin dan membayar pajak kepada wilayah Indonesia

4. Tempat perlintasan terbang dan transit pesawat terbang asing sebelum melanjutkan ke negara atau benua yang lainnya

3. Komunikasi

1. Indonesia mudah menjalin komunikasi kepada warga asing karena banyak warga asing yang datang ke Indonesia

2. Jaringan komunikasi lintas benua yang melintasi wilayah Indonesia sehingga arus informasi mudah masuk Indonesia

3. Indonesia mempunyai banyak bahasa Daerah yang ada di setiap pulau-pulau di Indonesia

4. Kemajuan ilmu dan teknologi mendorong ditemukannya berbagai alat komunikasi yang lebih maju. Penggunaan simbol, gambar, dan tulisan merupakan bentuk baru cara berkomunikasi masyarakat Indonesia.

 

Kelebihan dan Kekurangan masyarakat yang tinggal di daerah beriklim muson tropis

Apa Kelebihan dan Kekurangan masyarakat yang tinggal di daerah beriklim muson tropis ?

Kelebihan masyarakat yang tinggal di daerah beriklim muson tropis

Kekurangan masyarakat yang tinggal di daerah beriklim muson tropis

1. Suhu udara tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah

2. Curah hujan sangat tinggi sehingga cocok untuk pertanian

3. Cahaya matahari bersinar sepanjang tahun sehingga tanaman bisa tumbuh dengan baik

4. Tidak terjadi badai atau angin topan seperti pada iklim sedang atau subtropis

5. Adanya flora dan fauna yang beraneka ragam

6. Menjadi tujuan wisata dari wilayah subtropis karena turis membutuhkan sinar matahari untuk kesehatan kulitnya

7. Air laut yang hangat membuat kekayaan ikan melimpah sehingga menguntungkan bagi nelayan

8. Persamaan waktu siang dan malam

9. Tidak terjadi perubahan cuaca yang ekstrim

1. Masyarakat menjadi malas karena semua sumber daya sudah tersedia

2. Suhu udara yang terik dan panas pada siang hari membuat masyarakat sulit beraktifitas pada siang hari

3. Sering terjadi kebakaran hutan karena udara panas pada siang hari

4. Pada musim hujan sering terjadi bencana misalnya: banjir dan tanah longsor

5. Pada musim kemarau sering terjadi kekeringan yang panjang sehingga banyak sawah yang gagal panen

6. Hanya bisa menanam tanaman jenis tertentu pada musim tertentu: padi hanya bisa ditanam pada musim hujan saja

UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN NASIONAL

pendidikan-indonesia-264x300

1.1 PENDIDIKAN NASIONAL

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmaniah dan rohaniah anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Maka dalam kegiatan ini terdapatlah unsur-unsur seperti berikut:

  1. Usaha (kegiatan), dimana usaha itu bersifat bimbingan atau pimpinan yang dilakukan secara sadar.
  2. Adanya unsur pendidik, pembimbing, atau penolong.
  3. Adanya unsur anak didik atau siterdidik.
  4. Usaha itu mempunyai dasar dan tujuan.
  5. Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.

Dari segi tanggug jawab manusia berkewajiban membimbing dan mendidik anak-anaknya sebagai amanah Allah kepadanya, sebagaimana firman Allah yang artinya :

“Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu”. (QS. At-Taghabun: 15)

Percobaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah mengandung arti tanggung jawab yang sangat besar terhadap Tuhannya. Apakh dia mampu menunjukkan keberhasilan yang diharapkan Tuhan terhadap uji coba itu? Mampukah dia membina anaknya menjadi manusia yang cerdas, agamais, berbudi luhur ? Dia akan ditanya atau diminta pertanggungjawaban di hari kiamat, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

Maksudnya : “Setiap kamu pengembala/pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya atau diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”.

Pendidikan nasional merupakan pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta UUD 1945 yang diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

2.2 MUTU PENDIDIKAN NASIONAL

Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.

Mutu pendidikan nasional yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan-satuan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai komponen seperti proses, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaam, dan penilaian pendidikan yang dapat digambarkan dalam konstelasi mutu pendidikan sebagai berikut.

Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan system penilaian yang valid, obyektif, dan tegas. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.

3.3 UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SECARA NASIONAL

Banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.

Berbagai upaya yang telah dilakukan secara terencana sejak sepuluh tahun yang lalu. Hasilnya cukup membanggakan untuk sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia tetapi belum merata dan kurang memuaskan secara nasional.

Adapun proyek-proyek yang telah diluncurkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya ialah :

  • Proyek Pembangunan Kurikulum
  • Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
  • Proyek Perpustakaan
  • Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM)
  • Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS)
  • Proyek Pengadaan Buku Paket
  • Proyek Peningkatan Mutu Guru
  • Dana Bantuan Langsung (DBL)
  • Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
  • Bantuan Khusus Murid (BKM)

Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Kini berbagai elemen masyarakat mempertanyakan mengapa upaya yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpendapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan adapula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan.

Upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional diantaranya yaitu :

  1. Memberikan Penghargaan Terhadap Guru

Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan intrinsic (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir).

  1. Meningkatkan Profesionalisme

Kecanggihan kurikulum dan panduan manajemen sekolah tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru peofesional. UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

  1. Menyediakan Sarana dan Prasarana

Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata atau minimal siswa mendapat gambaran miniature tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).

Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPm), sekolah harus memiliki persyaratan meinimal untuk menyelanggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau tertinggal di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.

  1. Berantas Korupsi

Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dari kekaburan system anggaran sekolah. Kekaburan dalam system anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.

Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerpkan konsep yang berpijak pada akar masalah.

Dalam membangun pendidikan itu tidak mudah. Tidak cukup hanya dengan menyediakan anggaran, tetapi juga harus ada langkah dan program konkret atas dasar kebutuhan sekolah dan siswa.

Kemudian, masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan ini. Bukan hanya menyediakan anggaran kepada sekolah dan menyelenggarakan sesuai rancangan, tanpa ada keterlibatan masyarakat mustahil penyelenggaraannya bisa berjalan baik.

Saat ini, pemerintah fokus untuk menerapkan program pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga ke pelosok desa. Karena, PAUD adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut yang diselenggarakan pada jalur normal, nonformal, dan informal.

Peran serta masyarakat dalam mendorong terwujudnya upaya-upaya meningkatkan mutu pendidikan terutama program PAUD sangat besar. Kemudian, pentingnya pelaksanaan program PAUD di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan dengan berintegrasi bersama program lainnya seperti posyandu, BKB dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat terus meningkat.

Jadi, upaya peningkatan mutu pendidikan nasional tidak hanya melibatkan pemerintah atau masyarakat saja, tetapi peran orang tualah yang paling penting dalam hal ini untuk menghasilkan generasi-generasi muda bangsa yang berprestasi dan memiliki akhlak yang baik. Berkaitan dengan hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tahrim:6 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

 

Perkembangan Kurikulum Di Indonesia

kurikulum indonesia
1.1. Kurikulum Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pendidikan pada prakemerdekaan dipengaruhi oleh kolonialisme. Hasilnya bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pada mulanya, mereka tidak pernah terpikirkan untuk memperhatikan pendidikan namun murni hanya mencari rempah-rempah. Meski demikian, bangsa Eropa ini juga memiliki misi penyebaran agama. Karena itu pada abad ke-16 dan 17, mereka mendirikan lembaga pendidikan dalam upaya penyebaran agama Kristen di Nusantara. Pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi mereka tapi juga penduduk pribumi yang beragama Kristen.
Selanjutnya, pihak penjajah yang merasakan perlu adanya pegawai rendahan yang dapat membaca dan menulis guna membantu pengembangan usaha, khususnya tanam paksa, maka dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan. Namun kelas ini masih hanya diperuntukkan untuk kalangan terbatas, yaitu anak-anak priyai. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial. Pendidikan model bentukan Belanda pada masa ini terdapat dua macam. Pertama, Sekolah Kelas Dua untuk anak pribumi dengan lama pendidikan 3 tahun. Sementara kurikulum yang diajarkan meliputi berhitung, menulis dan membaca. Kedua, Sekolah Kelas Satu yang diperuntukkan untuk anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama pendidikan ini awalnya 4 tahun, kemudian 5 tahun dan terakhir 7 tahun. Kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat/ menggambar dan ilmu mengukur tanah. Sementara bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda.
Diberlakukannya politik etis pada awal-awal abad ke-20 berpengaruh pula terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, di Jawa khususnya, Sekolah Kelas Dua yang mulanya hanya 3 tahun berubah menjadi 5 tahun. Kemudian pada tahun 1914 didirikan sekolah sambungan yang lamanya 2 tahun.
Pada prinsipnya Undang-Undang Hindia Belanda membagi jenis penduduk menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Klasifikasi ini berpengaruh pula terhadap sistem pendidikan ketika itu, yaitu:
1. ELS (Europe Lagere School) yaitu sekolah untuk anak-anak Eropa, Tionghoa, dan Indonesia yang menurut undang-undang disamakan haknya dengan bangsa Eropa.
2. HCS (Holand Chinese School) yaitu sekolah untuk golongan Tionghoa.
3. HIS (Holand Inlandse School) yaitu sekolah untuk rakyat pribumi atau bumiputra golongan atas.
Ini merupakan gambaran pendidikan rendah di Indonesia masa Belanda yang berlangsung sampai dengan tahun 1942.
Sementara untuk kelas menengah didirikan Gymnasium yang terbatas siswanya hanya orang-orang Barat atau golongan ningrat. Masa belajar pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai menengah dan tingkat tinggi. Sedang mata pelajaran yang diajarkan meliputi Bahasa Belanda, bahasa Inggris, Ilmu Hitung, Aljabar, ilmu ukur, ilmu alam atau kimia, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah dan tatabuku. Perkembangan selanjutnya, Gymnasium berubah menjadi OSVIA dan HBS. OSVIA sebagian diperuntukkan golongan ningrat bumiputera, sedang HBS (Hogore Burgere School) untuk orang Belanda dari golongan tinggi. Dari model pendidikan ini kemudian menjelma menjadi MULO (Meer Uifgebried Order Wijs) yang lama pendidikannya ditambahkan 1 tahun dengan dasar bahwa anak-anak pribumi dianggap kesulitan memahami pelajaran. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Sementara untuk tingkatan atas, Belanda mendirikan AMS (Algemene Midelbare School). Sekolah ini didirikan pada 1919, sebagai lanjutan dari sekolah lanjutan pertama atau MULO. Lama pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun yang terbagi pada bagian A dan bagian B. Bagian A spesifikasinya adalah ilmu kebudayaan yaitu kesusatraan timur dan kesusatraan klasik barat. Kesusastraan timur meliputi bahasa Jawa, Melayu, Sejarah Indonesia dan ilmu bangsa-bangsa. Sedang kesusatraan klasik barat lebih kepada bahasa latin. Sedang bagian B spesifikasi pelajarannya adalah Ilmu Pengetahuan Kealaman yang meliputi ilmu pasti dan ilmu alam.
Sementara ketika kependudukan beralih dari Belanda ke Jepang, maka pendidikan yang berbau Belanda disingkirkan dengan diganti pendidikan berciri khas Jepang dan sesuai dengan tujuan mereka. Pada pendidikan tingkat rendahan Jepang menggantinya dengan sebutan Kokumin Gako dengan lama pendidikan 6 tahun. Kurikulum pendidikan ini lebih menitik beratkan pada olahraga kemiliteran yang memang bertujuan untuk membantu pertahanan Jepang. Anak-anak masa ini diajarkan untuk mengumpulkan kerikil dan pasir untuk pertahanan, serta menanam pohon jarak untuk membuat minyak sebagai kepentingan perang. Namun masa ini, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian penggunaan bahasa Indonesia hampir merata di semua sekolah. Materi yang dipelajari sebenarnya tidak jauh beda dengan masa pendudukan Belanda, namun hanya saja yang awalnya semua hal yang berbau Belanda tergantikan dengan model-model Jepang.
1.2. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Lama
Sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan, bahwa kurikulum pendidikan nasional telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan kurikulum disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh para penguasa. Tentu saja ada beberapa hal yang memang tujuannya disesuaikan dengan tuntutan kondisi zaman.
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:
1) Kurikulum 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan”artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara. Kemungkinan model ini masih terkontamninasi dengan model pendidikan yang diterapkan oleh Jepang sebelumnya.
2) Kurikulum 1952-1964
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
Sistem pendidikan masa ini dikenal dengan Sistem Panca Wardana atau sistem lima aspek perkembangan yaitu perkembangan moral, perkembangan intelegensia, perkembangan emosional/artistik, perkembangan keprigelan dan perkembangan jasmaniah. Sistem panca wardana ini dapat diuraikan menjadi beberapa mata pelajaran.
1. Perkembangan moral; pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan agama/budi pekerti.
2. Perkembangan intelegensia; bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung dan pengetahuan alamiah.
3. Perkembangan emosional/artistik; seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni tari, seni drama.
4. Perkembangan keprigelan; pertanian/peternakan, industry kecil/pekerjaan tangan, koperasi/tabungan dan keprigelan-keprigelan lain.
5. Perkembangan jasmaniah; pendidikan jasmaniah dan pendidikan kesehatan.
Fokus kurikulum 1964 ini lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat. Kurikulum masa ini dapat pula dikategorikan sebagai Correlated Curriculum.
1.3 Kurikulum Pendidikan Masa Orde Baru
1) Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan tonggak awal pendidikan masa orde baru. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Dasar pendidikan masa ini adalah Falsafah Negara Pancasila sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966. Sedang Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang Dasar 1945 ( Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).
Sementara isi pendidikan nasionalnya adalah; memperingati mental budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, membina dan mempertimbangkan fisik yang kuat dan sehat ( Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).
Kurikulum pada tingkatan SD 1968 dibagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok pembinaan Pancasila; pendidikan agama, pendidikan kwarganegaraan, pendidikan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan olahraga. Kedua, Kelompok pembinaan pengetahuan dasar; berhitung, ilmu pengetahuan alam, pendidikan kesenian, pendidikan kesejahteraan keluarga (termasuk ilmu kesehatan). Ketiga, Kelompok kecakapan khusus; kejuruan agragia (pertanian, peternakan, perikanan), kejuruan teknik (pekerjaan tangan/perbekalan), kejuruan ketatalaksanaan/jasa (koperasi, tabungan).
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
2) Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah diatur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
Dasar pendidikan masa ini adalah KTPD, MPR-RI No. IV/MPR/1973, yaitu; pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sementara tujuan pendidikan dan pengajaran terbagi pada tujuan pendidikan umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
3) Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu. Sementara dasar dan tujuan pendidikan sama dengan kurikulum 1975
4) Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Dalam ranah pendidikan dasar, isi kurikulum sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian dan pelajaran: pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, membaca dan menulis, matematika, pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, sejarah nasional dan sejarah umum, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, menggambar, bahasa Inggris.(PP. No. 28 tahun 1990. Pasal 14:2). Sementara materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Dalam kurikulum pendidikan kelas dasar (SD/MI/SMP/MTS) ini, pengantar Sains dan Tekhnologi menempati peran penting untuk dipelajari anak didik meskipun tidak mengabaikan aspek yang lain. Hal ini dimungkinkan sebagai upaya mempersiapkan anak didik memasuki era industrialisasi abad ke-21 dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Sementara berkaitan dengan isi kurikulum tingkat pendidikan menengah, maka setidaknya wajib memuat tiga aspek kajian dan pelajaran yaitu; Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. Disamping itu, kurikulum sekolah menengah dapat menjabarkan dan menambahkan mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas sekolah menengah yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional (Pasal 15:5)
Atas dasar inilah berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut:
Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.
Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
1.4. Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi” atau yang kerap disebut kurikulum KBK.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”.
1) Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)
Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Peran guru diposisikan kembali sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
Diantara karakteristik utama KBK, yaitu:
1. Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang, dan tinggi).
3. Berpusat pada siswa.
4. Orientasi pada proses dan hasil.
5. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8. Belajar sepanjang hayat;
9. Belajar mengetahui (learning how to know),
10. Belajar melakukan (learning how to do),
11. Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be),
12. Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
Meski demikian, kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen yang diterapkan secara terbatas di beberapa sekolah/madrasah. Ketentuan ini belum mendapatkan payung hukum dari peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap sekolah/madrasah yang menerapkan kurikulum KBK tersebut. Setidaknya ini tercermin dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 20/2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2005/2006 yang menyatakan bahwa bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan kurikulum 2004.
2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan kurikulum. Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan daripada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar.

Implementasi Kurikulum 2013

baru-kurikulum-2013

Menindaklanjuti kegiatan In-Service Training tahap 1 yang telah dilaksanakan pada bulan Juli 2013 lalu dan On Job Learning tentang Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013, saya diundang kembali untuk mengikuti kegiatan In-Service Training tahap 2 yang diselenggarakan oleh P4TK IPA,  selama 2 (dua) hari  (11 s.d. 12 November 2013), bertempat di Gedung P4TK IPA, Bandung.

Kegiatan In-Service Training tahap 2 ini selain bertujuan melaporkan dan mendiskusikan hasil-hasil pendampingan Implementasi Kurikulum 2013 yang telah dilakukan para peserta, juga berusaha membekali peserta tentang berbagai informasi  tambahan terkait dengan Kebijakan Kurikulum 2013, diantaranya tentang: (1) Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran; (3) Pendekatan dan Strategi Pembelajaran; (3) Penilaian Pembelajaran dan Model Raport; dan (4) Supervisi pembelajaran. Keempat materi pokok yang disajikan pada pelatihan ini bersifat kajian pendalaman yang dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok kecil dan  pleno kelas.

Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan presentasi laporan hasil kegiatan Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013 yang disajikan para peserta, saya melihat bahwa Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah sasaran pada umumnya sudah dan sedang digelindingkan. Sebagian besar, guru-guru di kelas X SMA sudah menyadari akan arti penting kehadiran Kurikulum 2013. Kendati demikian, secara teknis dalam proses pembelajaran masih ditemukan beberapa permasalahan, terkait dengan pengembangan materi pelajaran yang kontekstual, penerapan strategi/metode pembelajaran yang berbasis saintifik dan penerapan teknik penilaian autentik, terutama dialami oleh guru-guru mata pelajaran yang saat ini  belum tersentuh langsung oleh Kebijakan Pendidikan Nasional. Selain itu, masih ada juga sekolah yang belum sanggup mengembangkan pembelajaran dengan memanfaatkan IT untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa, baik karena faktor kompetensi guru itu sendiri maupun terbatasnya sarana dan prasarana.

Sebagai sebuah inovasi yang sedang disemaikan, perjalanan Kurikulum 2013 ini pasti tidak akan serta-merta berjalan secara sempurna. Oleh karena itu, upaya perbaikan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kurikulum di sekolah dan praktik pembelajaran di kelas menjadi penting. Kegiatan pengembangan pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengimplemantasikan Kurikulum 2013 perlu terus dilakukan, baik yang difasilitasi oleh sekolah, dinas pendidikan, dan terutama pemerintah pusat. Supervisi pembelajaran seyogyanya menjadi kebutuhan setiap guru dalam rangka perbaikan proses pembelajaran yang dilakukannya dan untuk memastikan diri sebagai seorang pembelajar yang terus berusaha belajar mengasah kemampuan diri.

Pakar : kurikulum 2013 menekankan pendidikan karakter

kurikulum-2013

Makassar (ANTARA News) – Guru besar Kopertis Wilayah IX Sulawesi Prof Dr Ir Hj Andi Niartiningsih, MP mengatakan, kurikulum 2013 menekankan pendidikan karakter untuk menunjukkan kepribadian bangsa.

“Karena itu program tersebut harus didukung bersama, karena kurikum ini menekankan pendidikan akhlak dan budi pekerti sangat dibutuhkan guna mewujudkan keperibadian dan karakter bangsa,” kata Niartiningsih pada seminar nasional tentang Kurikulum 2013 di Makassar, Minggu.

Dia mengatakan, pentingnya kurikulum 2013 itu perlu diapresiasi oleh mahasiswa sebagai bagian dari penyadaran anak muda akan arti penting kegiatan yang konstruktif yang mampu membuka pikiran kearah positif.

Menurut dia, era kekinian dituntut mahasiswa berkarakter serta memiliki semangat intektual yang baik dan bagus. Sosok mahasiswa berkarakter dan intektual akan menjadi sosok mahasiswa kreatif mandiri serta mampu menciptakan lapangan kerja baru.

“Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda pemberlakuan kurikulum 2013,” katanya.

Sementara itu, Rektor Universitas Sawerigading, Melantik Rompegading pada kesempatan yang sama mengatakan, seminar ini patut diapresiasi karena mendidik mahasiswa lebih mandiri melakukan kegiatan penembangan dunia akademik.

Dia mengatakan, kegiatan seminar dan sejenisnya akan memberi inspirasi bagi mahasiswa untuk lebih mengerti dan memahami masalah sosial yang dihadapi masyarakat setiap saat.

“Jadi ke depan kegiatan serupa dapat dilakukan lebih banyak lagi,” ujarnya. (S036/A034)

Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input pembangunan ekonomi sebenarnya telah dimunculkan oleh Adam Smith pada tahun 1776, yang mencoba menjelaskan penyebab kesejahteraan suatu negara, dengan mengisolasi dua faktor, yaitu; 1) pentingnya skala ekonomi; dan 2) pembentukan keahlian dan kualitas manusia. Faktor yang kedua inilah yang sampai saat ini telah menjadi isu utama tentang pentingnya pendidikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut Solow (1958) juga telah melakukan analisa dari temuannya tentang residual dalam penjelasan mengenai pertumbuhan ekonomi. Kemudian Romer (1986), Krugman (1987), dan Gupta (1999) juga menjelaskan bahwa residual itu menujukkan tingkat pendidikan (educational rate) dan sumber daya mansusia. Hubungan sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi tersebut menunjukkan suatu keharusan bahwa kebijakan publik memperhatikan pengembangan pendidikan, promosi keahlian, dan pelayanan kesehatan.

Hal ini dikatakan juga oleh Lim (1996) bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jepang dan Korea Selatan besar kemungkinan disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, hal ini terlihat dari tingkat melek huruf (literacy rate) yang tinggi, sehingga tenaga kerja mudah menyerap dan beradaptasi dengan perubahan teknologi dan ekonomi yang terjadi.

Kasus lain seperti yang dikemukkan oleh Al-Samarai dan Zaman (2002) di Malawi, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, pemerintah telah melakukan beberapa program antara lain dengan menghapuskan biaya untuk Sekolah Dasar dan memperbesar pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Dampak dari program ini adalah meningkatnya tingkat enrollment rate ratio pendidikan dasar. Namun demikian masalah yang harus diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah adalah distribusi pendidikan yang tidak merata.

Hubungan investasi sumber daya manusia (pendidikan) dengan pertumbuhan ekonomi merupakan dua mata rantai. Namun demikian, pertumbuhan tidak akan bisa tumbuh dengan baik walaupun peningkatan mutu pendidikan atau mutu sumber daya manusia dilakukan, jika tidak ada program yang jelas tentang peningkatan mutu pendidikan dan program ekonomi yang jelas.

Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.Selanjutnya, Suryadi (2001) menegaskan dari hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai kesadaran sosial politik dan budaya, serta memacu penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial.

Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi.  Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS  pada periode 1948-79.

Namun, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas.  Apabila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia  dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.

Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi.  Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi,  dalam memacu pertumbuhan ekonomi.  Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas.

Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.

Lalu pertanyaannya, apakah ukuran yang dapat menentukan kualitas manusia? Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya.  Di antara berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia.  Lewat pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik.

Dari berbagai studi tersebut sangat jelas dapat disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui berkembangnya kesempatan untuk meningkatkan kesehatan, pengetahuan, dan ketarmpilan, keahlian, serta wawasan mereka agar mampu lebih bekerja secara produktif, baik secara perorangan maupun kelompok. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas.  Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut.

Bagaimana Kondisi di Indonesia?

Di Indonesia, pendidikan masih belum mendapatkan tempat yang utama sebagai prioritas program pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah anggaran pendidikan yang masih jauh dari amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Padahal dalam UU tersebut, telah mengamanatkan tentang besarnya anggaran pendidikan di berbagai level pemerintahan minimal 20%.

Anggaran pendidikan dari APBN 2006 saja baru mencapai 9% atau Rp 36,7 triliun, sedangkan pada tahun 2007 diperkirakan jumlah anggaran pendidikan baru berkisar 11%. Rendahnya pemenuhan anggaran pendidikan dapat mengakibatkan mutu pendidikan dan perluasan akses pendidikan menjadi terhambat. Akibatnya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan penguasaan teknologi juga terpasung.

Indikasi lain yang perlu menjadi perhatian lebih untuk menjadikan pendidikan sebagai basis perubahan dalam meningkatkan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi adalah tingkat melek huruf dan angka partisipasi pendidikan. Berdasarkan laporan dari Dirjen PLS tentang tingkat pemberantasan buta aksara secara nasional di Indonesia telah mengalami penurunan tahun 2006 hingga menjadi sekitar 13 juta orang yang masih buta huruf.

Jumlah tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 2004 yang berjumlah 15,4 juta orang, dan menurun menjadi 14,6 juta orang pada tahun 2005. Jika dilihat persentase selama 2004 s/d 2006 telah terjadi penurunan 16,15%. Bahkan menurut Ace Suryadi (2006) diharapkan pada tahun 2015 pemberantasan buta aksara sudah bisa tuntas dengan asumsi pengurangan setiap tahun 1,6 juta orang.

Sementara tingkat partisipasi pendidikan menurut data Susenas 2004, APS penduduk usia 7 s/d 12 tahun meningkat dari 92,83% pada 1993 menjadi 96,775 pada 2004. Dalam rentang waktu yang sama APS penduduk usia 13 – 15 tahun meningkat dari 68,74% menjadi 83,49%. Sedangkan APS penduduk usia 16 – 18 tahun meningkat dari 40,23% menjadi 53,48%. Data tersebut menunjukkan adanya masalah kesenjangan partisipasi pendidikan, sehingga pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran pendidikan agar masyarakat lebih banyak lagi yang mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan.

Yang jelas, kondisi di atas akan memunculkan fenomena tersendiri bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia, diantaranya kesenjangan pendapatan, ketertinggalan pendidikan, kemiskinan, dan kemakmuran masyarakat. Sylwester (2002) telah merekomendasikan dari hasil kajiannya yang menunjukkan bahwa negara yang mencurahkan banyak perhatian terhadap public education (dilihat dari persentase GNP terhadap pendidikan) mempunyai tingkat kesenjangan yang rendah.

Akan tetapi, di Indonesia, investasi modal fisik masih dianggap sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi usaha.  Untuk memenuhi kebutuhan modal manusianya, di Indonesia cenderung mendatangkan tenaga  kerja dari luar negeri.  Dalam jangka pendek cara ini mungkin ada benarnya, karena diharapkan dapat memberikan efek multiplier terhadap tenaga kerja di Indonesia. Namun, dalam jangka panjang tentu sangat tidak relevan, apalagi untuk sebuah usaha berskala besar atau yang sudah konglomerasi, akibatnya banyak tenaga kerja sendiri tersingkirkan.

Bila  dilihat dari besarnya investasi di  bidang  riset dan pengembangan, kondisi ini tidak lebih baik   di banding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih  kecil.  Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dilakukan di luar negeri.  Singapura, yang berpenduduk tidak sampai setengah penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS hampir setengah jumlah mahasiswa Indonesia di AS.

Sesuai dengan berbagai kesepakatan regional dan internasional  di bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan situasi persaingan yang amat ketat.  Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi tidak mungkin dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing kompetitif sumberdaya manusia.  Dalam arti, mengandalkan keunggulan komparatif sumber daya manusia yang melimpah dan murah sudah kurang relevan.

Dengan  demikian, peningkatan investasi di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan tidak bisa dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta.  Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran sektor pendidikan.  Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara absolut relatif sangat kecil, sehingga  masih jauh  bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat serius dalam pengembangan sumberdaya manusia.  Persentase investasi pendidikan 20 persen dari total anggaran pemerintah harus segera dipenuhi sesuai dengan amanat undang-undang.

Demikian juga sektor swasta, selama ini belum ada aturan yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya manusia serta penelitian dan pengembangan dari struktur biaya perusahaan dalam industri nasional.  Di sektor perbankan sempat ada ketentuan  yang menetapkan biaya pengembangan sumberdaya manusia 5 persen dari profit.  Akan tetapi, angka ini relatif sangat kecil, karena biaya pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai beban input (Tobing, 1994).

Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan di Indonesia

1.1. Globalisasi

Arus globalisasi yang sudah terjadi sejak abad ke 20, memaksa setiap negara khususnya Indonesia untuk menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa. Menurut Princenton N. Lyman, Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara negara-negara didunia dalam hal perdagangan dan keuangan.. Berdasarkan sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi elekrronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Kata “globalisasi” dari kata global yang berarti universal atau ruang lingkupnya mendunia.  Globalisasi pada dasarnya merupakan proses yang ditimbulkan dari suatu kegiatan yang dampaknya berkelanjutan melampaui batas kebangsaan dan kenegaraan.

Hamijoyo dalam Mimbar (1990) menjelaskan cirri-ciri globalisasi, antara lain :

  1. Globalisasi perlu didukung oleh kecepatan informasi, kecanggihan teknologi, transportasi dan komunikasi yang diperkuat oleh tatanan organisasi dan manajemen yang tangguh.
  2. Globalisasi telah melampaui batas tradisional geopolitik. Batas tersebut harus tunduk pada kekuatan teknologi, ekonomi, social politik dan sekaligus mempertemukan tatanan yang sebelumnya sulit dipertemukan.
  3. Adanya ketergantungan antar negara.
  4. Pendidikan merupakan bagian dari globalisasi. Penyebaran dalam hal gagasan, pembaharuan dan inovasi dalam struktur, isi dan metode pendidikan dan pengajaran sudah lama terjadi (melalui literature, kontak antar pakar dan mahasiswa).

Kebudayaan sendiri dapat diartikan hasil dari nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang menyangkut pandangan terhadap berbagai hal. Globalisasi dalam bidang kebudayaan berkembang secara pesat, hal ini ditandai dengan adanya kemampuan akses infomasi secara cepat. Hal ini justru akan menjadi masalah penting dalam globalisasi, pada kenyataannya ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini dikuasai atau didominasi oleh negara-negara maju, bukan negara berkembang. Ini akan memicu kekhawatiran tersendiri bagi negara berkembang, yaitu kekhawatiran tertinggal dari negara maju baik dari segi sosial, ekonomi, dan budaya. Globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mengubah dunia secara mendasar.

Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Pengaruh perkembangan teknologi turut mengiringi perkembangan pendidikan itu sendiri. Saat ini pemanfaatan teknologi tidak hanya terbatas untuk industri atau kepentingan bisnis saja, namun juga pendidikan. Misalnya adalah peran internet yang dapat digunakan sebagai bahan pengumpul informasi belajar bagi siswa. Sehingga sumber belajar tidak hanya diperoleh dari buku atau guru, namun sumber belajar dapat diperoleh dari berbagai belahan dunia. Selain itu penggunaan multimedia portable seperti laptop semakin sering dijumpai dalam praktik penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa IPTEK dapat menunjang terselenggaranya pendidikan terutamanya di Indonesia agar lebih berkualitas dan berkembang. Dari sinilah menunjukkan bahwa pendidikan merupakan agenda kebangsaan yang sangat penting dan tidak dapat ditunda-tunda lagi untuk dikembangkan seoptimal mungkin. Tentunya agar hal tersebut dapat dicapai dibutuhkan kerja sama dari semua elemen pendidikan yang diimbangi oleh sumber daya manusia yang mumpuni di bidangnya, agar pada pelaksanaannya dapat berjalan sebagaimana mestinya.

1.2 Dampak Globalisasi

Kemajuan globalisasi terutama ditandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya sangat berdampak bagi keberadaan aspek kehidupan khususnya dalam bidang pendidikan, baik itu berupa dampak positif atau negatif. Hal ini terlihat dengan adanya sekolah-sekolah yang membuka kelas bilingual, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata pelajaran wajib. Selain itu sekolah-sekolah menengah hingga perguruan tinggi sudah banyak yang membuka kelas Internasional. Untuk Indonesia hal ini tidak lain dimaksudkan agar tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di dunia internasional dan menjawab berbagai tantangan globalisasi. Dengan dimilikinya tenaga-tenaga kerja yang berkualitas, tentunya akan membawa dampak positif tersendiri bagi Indonesia. Indonesia mampu memperbaiki kualitas ekonomi, sehingga mampu masuk jajaran raksasa ekonomi dunia. Namun hal ini tentu sangat membutuhkan perpaduan antara kemampuan otak yang mumpuni dan keterampilan dasar yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah dengan globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia khususnya dengan sumber daya manusianya.

Beberapa dampak positif globalisasi :

a.  Semakin mudahnya akses informasi.

Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah mempermudah pekerjaan manusia, khususnya dalam hal akses informasi. Internet kini sudah menjadi kebutuhan tersendiri. Dengan internet, masyarakat dapat mengakses informasi  dalam waktu yang sangat singkat. Informasi yang diakses tidak terbatas dalam negeri, melainkan dari seluruh dunia dapat diperoleh melalu internet. Bagi siswa tentu ini sangat memudahkan bagi mereka untuk memperoleh sumber belajar lain, disamping dari buku dan penjelasan guru.

b. Globalisasi dalam pendidikan akan menciptakan manusia yang profesional dan berstandar internasional dalam bidang pendidikan.

Dalam hal ini yang dimaksud adalah pendidik. Apaila pendidikan dilakukan dilaksanakan secara berkualitas dan mengikuti perkembangan arus globalisasi maka akan menghasilkan lulusan yang siap kerja seuai dengan keahliannya, termasuk dihasilkannya tenaga pendidik yang pofesional dan berstandar internasional. Hal ini tentunya akan membawa perkembangan positif bagi peserta didik yang diajarnya kelak, yaitu dihasilkannya lulusan yang berkualitas.

c. Globalisasi akan membawa dunia pendidikan Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain.

Globalisasi  pendidikanterjadi secara mengglobal atau mendunia, segala perubahan-perubahan aspek pendidikan terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia. Apabila perkembangan globalisasi dapat diikuti dan disesuaikan dengan tepat, maka akan membuat kualitas pendidikan Indonesia memiliki standar yang sama atau lebih bagus dari negara-negara lain. Sehingga pendidikan di Indonesia dapat disejajarkan atau mampu bersaing dengan negara-negara lain.

d. Globalisasi akan menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dan mampu bersaing.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, apabila pendidikan dilaksanakan secara berkualitas dan mengikuti kebutuhan dan perkembangan globalisasi, maka akan menciptakan tenaga kerja yang terampil dan siap bersaing di dunia Internasional.

e. Adanya perubahan struktur dan sistem pendidikan yang meningkatkan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Demi terselenggarakannya pendidikan yang lebih bermutu dan berkualitas, tidak mungkin mempertahankan struktur dan metode pendidikan yang sudah ada. Semua harus menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan saat ini. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi berupa media pembelajaran berbasis komputer, internet atau sejenisnya. Selain itu diperlukan juga evaluasi terhadap kurikulum yang sudah ada sehingga dapat dilakukan pembenahan pada rancangan kurikulum selanjutnya.  Pemanfaatan teknologi baru, seperti komputer dan internet, telah membawa perubahan yang luar biasa dalam dunia pendidikan dan sudah menjadi pemandangan biasa dalam praktik pembelajaran di sekolah di Indonesia. Selain itu akibat kemajuan teknologi, pola pengajaran pada dunia pendidikan pun juga turut berubah. Apabila dulu, guru hanya menulis dengan sebatang kapur untuk menulis, menggambar sederhana serta menggunakan media-media elajar sederhana, kini dengan komputer, tulisan, gambar, suara, film dan lain-lain dapat digabungkan menjadi suatu proses komunikasi materi belajar.

Selain dampak negatif, globalisasi juga memiliki dampak negatif tehadap pendidikan di Indonsia, berikut diantaranya :

a. Dunia pendidikan Indonesia bisa dikuasai oleh pemilik modal.

Artinya, sekolah-sekolah dapat dijadikan objek komersil seiring dengan berkembangan neoliberalisme yang melanda dunia. Globalisasi bisa memaksa lliberalisasi menjadi sektor yang dulunya non-komersil menjadi komoditas dalam pasar yang baru. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya sekolah-sekolah yang masih memungut anggaran dari orang tua murid dengan label uang komite atau uang sumbangan pembangunan. Maka rakyat dari kelas-kelas menengah keatas dan mampu membayar lah yang dapat menikmati bangku pendidikan, meskipun pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) namun persebarannya belum merata. Belum lagi BOS yang tidak sampai ke tempat karena dikorupsi. Selain itu tak sedikit kampus-kampus yang menawarkan pembelian Gelar dengan murah tanpa harus kuliah.

b. Dunia pendidikan akan sangat tergantung pada teknologi, yang berdampak munculnya “tardisi serba instan”.

Dengan memanfaatkan internet sebagai media pencari informasi, bisa didapat banyak keuntungan diantaranya adalah mendapatkan informasi yang lengkap dan dalam waktu singkat. Namun hal ini justru memicu dampak negatif tersendiri bagi penggunanya terutama bagi pelajar. Terlalu bergantung pada internet cenderung membuat mereka menjadi semakin malas karena tinggal akses internet mereka mendapat informasi yang mereka mau, tanpa perlu bersusah payah observasi secara langsung.

c. Globalisasi akan melahirkan suatu golongan-golongan di dalam dunia pendidikan.

Peningkatan kualitas pendidikan seharusnya harus dilaksanakan selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Masih banyak dijumpai masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga untuk menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik memerlukan dana yan cukup besar. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas internasional di perguruan terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta, jauh lebih mahal jika dibandingkan denngan kelas biasa atau reguler. Dengan demikian hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang dan dapat menyeret mereka ke dalam kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah mewah sementara saat masyarakat dari golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang dapat mengakibatkan konflok sosial.

d. Akan semakin terkikisnya kebudayaan bangsa akibat masuknya budaya dari luar.

Globalisasi dapat menyebabkan masuknya budaya atau percampuran budaya asing (akulturasi kebudayaan) dengan budaya asli Indonesia. Jika bangsa Indonesia tidak siap menerima perubahan globalisasi, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan cenderung mengarah ke memudarnya nilai-nilai kelestarian budaya. Salah satunya pemanfaatan dari internet yang membawa dampak negatif, salah satunya adalah situs pornografi yang dapat diakses oleh semua orang termasuk para siswa. Hal itulah merupakan awal dari pergeseran budaya yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang condong ke adat ke-timuran yang menjunjung nilai-nilai moral dan kesopanan.

1.3 Kondisi Pendidikan di Indonesia Saat Ini

Seperti dilansir oleh Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan bahwa tiga hasil studi internasional menyatakan, kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara signifikan, Indonesia berada dibawah rata-rata skor internasional yang sebesar 500. Jika dibandingkan dengan siswa Internasional, Indonesia hanya mampu menjawab soal dengan kategori rendah dan sangat sedikit, atau bahkan tidak ada yang mampu menjawab soal dengan kategori pemikiran tingkat tinggi.

Untuk Indonesia, pendidikan tak terjangkau oleh rakyat kecil, karena mahalnya biaya pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan di Indonesia seolah telah dijadikan ladang bisnis dan dikomersialkan. Kebijakan ini memang sangat disayangkan, karena dapat mengubur impian masyarakat kelas sosial kebawah untuk menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Salah satu implikasinya adalah,  kualitas mahasiswa pun jadi dipertanyakan. Bukan tidak mungkin uang yang berbicara, siapa yang lebih banyak ia yang akan menang. Bisa jadi mereka memiliki kemampuan intelektual yang pas-pasan. Sementara mereka yang memiliki kemampuan lebih tidak bisa mengenyam perguruan tinggi karena terkendala oleh faktor finansial yang tidak mencukupi.

Meskipun saat ini banyak bantuan-bantuan dari pemerintah dalam hal pendidikan seperti BOS, dan lainnya, namun banyak penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh aparat dinas pendidikan baik di daerah maupun sekolah. Penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi untuk rehabilitasi dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah. Akibatnya adalah dana BOS yang dapat dinikmati oleh siswa jumlahnya berkurang atau bahkan tidak sampai ke tangan mereka.  Seperti yang telah dipaparkan oleh Febri Hendri, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 – 2009 di Jakarta, Rabu (9/9). Menurut Febri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. (Kompas.com tanggal 9 September 2009).

Akibat dari mahalnya pendidikan yang hanya bisa dinikmati oleh kelas sosial atas adalah ketidak merataan pendidikan di Indonesia, dimana mereka yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi dan seharusnya dibina di sekolah, justru tidak dapat bersekolah dikarenakan mahalnya biaya pendidikan. Bagi Indonesia sendiri adalah menurunnya kualitas SDM dan pendidikan bangsa, sehingga bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran. Diketahui bahwa pendidikan adalah pilar utama terselenggaranya negara yang maju dan berkualitas. Jjika dalam dunia pendidikan saja banyak masalah-masalah seperti sulitnya mendapatkan pendidikan yang layak karena faktor lemahnya finansial, maka akas sulit  bagi Indonesia untuk dapat bersanding dengan negara-negara lain.

1.4 Upaya menghadapi tantangan Globalisasi di Bidang Pendidikan

Dalam kompetisi menghadapi era globalisasi, Sumber Daya manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Jika mereka ridak siap, maka akan tergilas oleh arus globalisasi, sebaliknya jika mereka siap maka akan menjadi pemenang. Telah diketahui bersama bahwa globalisasi mempunyai dampak positif yang bisa membawa perubahan yang lebih baik, dan dampak negatif yang dapat menjadi boomerang khususnya bai dunia pendidikan di Indonesia.

Di dalam pendidikan seperti yang telah dibahas, maka tidak akan pernah luput dari komponen-komponen yang saling memiliki keterkaitan yaitu pendidik (guru), peserta didik (murid), orang tua (keluarga), dan lingkungan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh semua komponen tersebut dalam menghadapi globalisasi di dunia pendidikan.

Pendidik (Guru)

Menurut undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah ditegaskan bahwa yang dimaksud Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dijalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam hal globalisasi, posisi guru disini adalah sebagai tenaga pendidik profesional, yang mampu meningkatkan martabat, mampu melaksanakan dan mewujudkan pendidikan nasional. Tujuan akhirnya tidak lain adalah mengembangkanpotensi peserta didik agar tidak hanya menjadi individu yang terampil dan cerdas, namun juga beriman dn bertakwa.

Guru adalah orang yang bertanggung jawab atas peningkatan moral pelajar dan kemerosotannya. Oleh karena itu tugas guru tidak terbatas pada kegiatan mengajar, tapi yang terpenting adalah mencetak karakter murid. Selain itu dengan berkembangnya bidang teknologi informasi, guru harus memiliki kemampuan untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin gunan menunjang aktifitas mengajarnya di kelas.

Peserta didik (siswa)

Tugas utama seorang siswa adalah belajar. Selain itu, dalam era globalisasi seperti ini, siswa harus mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Terlebih lagi mereka yang dalam masa-masa labil, masa-masa dimana selalu ingin tahu dan mencoba hal-hal baru. Disinilah siswa harus benar-benar memilih pilihan yang tepat. Akses internet memang sangat bermanfaat jika digunakan untuk keperluan yang bermanfaat misalnya untuk bahan belajar, namun jika internet digunakan untuk hal-hal negatif seperti akses video porno, hal ini justru akan berdampak buruk bagi perkembangan siswa.

Orang Tua (Keluarga)

Orang tua atau keluarga sebagai tempat pendidikan awal bagi anak sebelum mereka dikenalkan denga dunia luar harus  memberikan dasar-dasar pendidikan kepada anak yang nantinya akan menentukan pertumbuhan serta perkembangan anak di masa mendatang. Selain itu orang tua juga wajib melakukan kontrol terhadap kegiatan anak, karena apabila tidak diawasi akan mengarahkan anak menjadi suatu pribadi dan perilaku yang tak terkontrol.. Mencari kegiatan anak tidak harus mlakukan pengawasan setiap detik, namun dapat dilakukan dengan menanyakan siapa teman bermai, menanyakan keadaan anak pada guru di sekolah dan lain sebagainya.

Lingkungan dapat mengakibatkan perubahan perilaku dan kepribadian seseorang, karena disinilah segala pengaruh timbul, baik dari teman sebaya ataupun orang lain. Untuk itu pemilihan lingkungan sangat penting dalam mengahadapi arus globalisasi yang akan berdampak pada dunia pendidikan. Karena kewajiban terpenting kita adalah berinteraksi dengannya.

Disamping komponen-komponen pendidikan, pemerintah sebagai pengatur aktifitas negara termasuk pendidikan juga harus segera mencari pemecahan dari permasalahan yang dapat mengakibatkan terganggunya pelaksanaan pendidikan. Pendidikan yang mahal masih menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai hendaknya pemerintah menjadikan pendidikan di Indonesia semakin murah atau bahkan gratis tapi bukan pendidikan yang murahan. Memang di berbagai daerah sudah banyak sekolah unggulan yang berkualitas dan bebas biaya. Namun hal tersebut baru merupakan kebijakan regional di daerah tertentu. Alangkah baiknya jika pemerintah pusat menerapkan kebijakan tersebut di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Untuk mewujudkannya, yang pertama dilakukan adalah pembenahan dalam sektor birokrasinya. Korupsi harus segera diberantas, karena korupsilah aliran dana yang seharusnya digunakan untuk pembenahan dunia pendidikan jadi tersendat atau tidak sampai ditempat.

Pendidikan di Kota Balikpapan

Pendidikan

Sarana pendidikan di Kota Balikpapan tersedia mulai dari pendidikan Taman Kanan-Kanak (TK) sampai ke Perguruan Tinggi. Sektor pendidikan mengalami perkembangan setiap tahunnya, diindikasikan dengan penambahan jumlah murid yang diiringi dengan penambahan jumlah sekolah, jumlah guru dan jumlah kelas.

Penambahan jumlah sekolah, guru dan kelas merupakan upaya pertama dari pemerintah dalam rangka pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan bagi warga negara. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 yang dijabarkan pada UU Pendidikan Nasional. Program wajib belajar pun disesuaikan dari 9 tahun menjadi 12 tahun.

Pendidikan Formal di Balikpapan

Taman Kanak-Kanak (TK)
Sekolah Dasar (SD) :
Sekolah Menengah Pertama (SMP) :
Sekolah Menengah Atas (SMA) :

Informasi Pendidikan di Kota Balikpapan selengkapnya dapat dilihat di http://disdik.balikpapan.go.id

Program Pendidikan Prioritas Untuk Papua dan Papua Barat

Jakarta- Pemerintah memiliki perhatian yang besar terhadap pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, utamanya pada sektor Pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui unit utamanya, memiliki berbagai program prioritas untuk mencapai kemajuan dan percepatan pembangunan pendidikan di kedua provinsi tersebut.

Bertempat di gedung Dikti, Senin (20/1), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Rapat Koordinasi Antara Kemdikbud dengan Pimpinan Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat di Jakarta,hampir seluruh Bupati dan walikota dari kedua provinsi hadir pada acara yang dibuka oleh Wamendikbud, Musliar Kasim.

Dalam sambutan pembukaanya Wamendikbud menggaris bawahi upaya Kemdibud untuk meningkatkan terus pelayanan pendidikan kepada masyarakat, selain terkait dengan mutu, akses pun menjadi fokus utama Kemdikbud “Kami terus berupaya meningkatakan akses dan mutu pendidikan di Papua dan Papua Barat yang melingkupi ketersediaan dan keterjangkauan, seharusnya tidak ada lagi orang tua yang tidak mengirimkan anaknya ke Sekolah ” sahut mantan Rektor Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Khusus untuk anak-anak Papua dan Papua Barat, guna mengejar ketertinggalan pendidikan mereka di jenjang pendidikan dasar dan menengah Kemdikbud telah menyiapkan skema bantuan yang diprioritaskan seperti BOS dan PMU, “Dengan bantuan ini seluruh anak Papua dan Papua Barat menerima bantuan-bantuan tersebut tanpa terkecuali, mohon Pak Bupati dapat memantau implementasinya secara baik” ujar Wamendikbud.

Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Supriadi Rustad mengutarakan bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) telah menyiapkan berbagai program yang terfokus pada daerah yang terkatagori Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) di mana Papua dan Papua Barat menjadi bagiannya. Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI) sebagai salah satu program tersebut dinilai memberikan dampak positif bagi perkembangan pendidikan di Papua dan Papua Barata.

” MBMI ini memiliki tiga program pendukung yaitu, Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM3t), Pendidikan Profesi Guru SM3T, Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi (PPGT)” jelas Supriadi.

Pada tahun 2013 program SM3T khusus Papua dan Papua Barat telah menjangkau daerah-daerah yang paling terpencil di kedua provinsi tersebut “Allhamdulliah pad atahun 2013 berkat kerjasama yang baik dengan Pemerintah Daerah dan Bapak Bupati semua, kami sudah berhasil mengirimkan peserta SM3T ke daerah-daerah yang tergolong khusus dikarenakan medan, kondisi dan tantangan yang akan dihadapainya” jelah Supriadi. Para peserta SM3T adalah para Sarjana Kepandidikan terbaik yang telah memiliki bekal keilmuan dan pedagogik yang relevan dan mendukung proses pendidikan di daerah 3T. Sebelumnya para calon peserta SM3T tersebut mengalami seleksi, baik seleksi tahap akademis maupan psikologis yang terbagi menjadi tiga tahapan yaitu, tahap nasional, tahap LPTK dan tahap daerah pengabdian ” untuk seleksi di daerah pengabdian, Alhamdullialah semua peserta SM3T di daerah Papua dan Papua Barat lolos semua, jumlah yang dikirim sama dengan jumlah yang kembali pulang setelah pengabdian”.

Selain SM3T, Program PPGT pun memiliki fokus yang sama dengan tujuan peningkatan mutu pendidikan di daerah Papua dan Papau barta. ” dengan PPGT kami memboyong putra-putri terbaik dari Aceh, NTT, Papua dan Papua Barat untuk kami didik dan persiapkan di LPTK agar kelak mereka menjadi pendidik yang berkualitas dan memajukan provinsi mereka masing-masing. Saat ini sekitar 500 putra-putri dari daerah tersebut belajar di LPTK terbaik di Indonesia”.

Selain Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Ditjen Dikti melalui Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan juga memiliki program Afirmasi Pendidikan Tinggi bagi Putra-Putri Asli papua dan Papua Barat (ADIK PAPUA). Program ADIK PAPUA ini menurut Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Illah Sailah, perlu ditingkatkan kerjasama dan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ” Pada tahun 2012 kuota yang tersedia adalah 770, yang registrasi menurun hingga 569 sedangkan yang aktif berkuliah 502, yang ke 67 hilang tanpa kabar. oleh karenanya kita perlu untuk meningkatkan kerjasama dan komunikasi kita semua. Menurur bapak-bapak semua perlu tidak program ini dilanjutkan ?” tanya Illah yang kemudian di jawab serenatak dan tegas “Lanjutkaann” oleh para Bupati yang hadir.

Illah menegaskan Ditjen Dikti bekerjasama dengan Majalis Rektor Perguruan tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) berupaya terus untuk memberikan yang terbaik bagi putra-putri Papua yang kini berada di 39 perguruan tinggi negeri di Indonesia untuk menenuntut ilmu “Saya seringkali meminta kepada para rektor untuk terus memperhatikan secara khusus anak-anak kita ini, baik kehidupan akademis maupun sosialnya, apabila mereka mendapatkan kendalam pembelajaran setelah tahun pertamanya, mereka dapat pindah ke program studi lain yang lebih cocok bagi mereka, bahkan memungkinkan juga mereka pindah ke universitas di daerah tersebut, sebagai contoh apabila ada yang mengalami kendala akademis di ITB dia dapat pindah ke UPI program studi penjaskes, mungkin akan lebih baik” sahut Illah

Pada tahun 2013 peserta ADIK PAPUA bertambah menjadi 612 walau yang kemudia mendaftar ulang tidak lebih dari 420 orang. “kami berharap komitmen kuat dari pemerintah daerah untuk mendukung program ini karena ini merupakan suatu peluang yang baik”. Selain Papua dan Papua Barat, Illah mengungkapkan, Ditjen Dikti pun akan membidik sejumlah daerah dengan programs erupa, adapun perogram-program tersebut adalah Kalimantan Barat, Aceh, Nusa Tenggara Timur serta Jawa Barat. (YH/HS)

http://www.dikti.go.id/id/2014/01/22/program-pendidikan-prioritas-untuk-papua-dan-papua-barat/